Solusiindonesia.com — Sebuah operasi besar-besaran yang dilakukan pasukan gabungan polisi dan militer Brasil terhadap geng narkoba di wilayah kumuh Rio de Janeiro menewaskan sedikitnya 132 orang, memicu kemarahan publik, dan memunculkan tuntutan agar Gubernur Claudio Castro mundur dari jabatannya.
Penggerebekan yang itu berlangsung di kawasan favela Penha dan Complexo do Alemao, dua permukiman miskin di zona utara Rio yang dikenal sebagai basis kelompok kejahatan terorganisir. Digelar sejak Selasa (28/10/2025)
Mengutip dari AP News, sekitar 2.500 aparat gabungan diterjunkan untuk menargetkan jaringan Red Command, salah satu geng narkoba terbesar di Brasil.
Baku tembak hebat tak terhindarkan. Jumlah korban terus bertambah, dari laporan awal 60 tersangka menjadi 132 orang tewas termasuk empat polisi. Sebanyak 113 orang ditangkap, dan aparat menyita 90 senjata api serta lebih dari satu ton narkoba.
Baca Juga: Dunia Terperangah, Donald Trump Presiden Amerika Puji Prabowo Subianto di Hadapan Pemimpin ASEAN
Felipe Curi, sekretaris kepolisian Negara Bagian Rio de Janeiro, mengatakan dalam konferensi pers bahwa sejumlah jenazah tambahan ditemukan di daerah berhutan. Menurutnya, para tersangka mengenakan pakaian kamuflase saat baku tembak dengan pasukan keamanan.
Ia menambahkan, beberapa warga terlihat mengambil perlengkapan dan pakaian dari jenazah, yang kini tengah diselidiki sebagai dugaan penghilangan barang bukti.
“Orang-orang ini berada di dalam hutan, mengenakan pakaian kamuflase, rompi, dan bersenjata. Sekarang banyak dari mereka ditemukan hanya mengenakan pakaian dalam atau celana pendek, tanpa perlengkapan, seolah-olah mereka melewati portal dan berganti pakaian,” ujar Curi.
Keesokan paginya, Rabu (29/10), suasana di Penha memanas. Puluhan jenazah diletakkan di jalan oleh warga untuk menunjukkan besarnya jumlah korban. Tak lama kemudian, jenazah dikumpulkan menggunakan truk dan dibawa ke alun-alun utama, di mana masyarakat berteriak “pembantaian” dan “keadilan”.
“Mereka bisa dibawa ke penjara, kenapa harus dibunuh seperti ini? Banyak dari mereka tadinya masih hidup dan sempat meminta tolong,” kata Elisangela Silva Santos (50), warga Penha.
“Ya, mereka pengedar narkoba, tapi mereka manusia.”
Aksi protes pun meluas. Puluhan warga dari berbagai favela berbondong-bondong mendatangi kantor pemerintahan negara bagian sambil meneriakkan “pembunuh!” dan melambaikan bendera Brasil yang diwarnai merah sebagai simbol darah.
Menurut laporan, aparat melibatkan helikopter dan kendaraan lapis baja, serta pasukan yang bergerak dari darat. Bentrokan sengit memicu kekacauan di seluruh kota. Sekolah-sekolah ditutup, universitas membatalkan kelas, dan jalan-jalan diblokir dengan bus yang dijadikan barikade.
Baca Juga: Gencatan Senjata Diuji: Israel Lancarkan Serangan, 104 Orang Gaza Meninggal Dunia
Respons keras kemudian datang dari lembaga hukum dan pemerintahan. Hakim Mahkamah Agung Alexandre de Moraes memerintahkan Gubernur Claudio Castro untuk menyerahkan laporan lengkap operasi dan akan memanggilnya bersama kepala kepolisian pada Senin mendatang.
Komisi HAM Senat juga menuntut klarifikasi resmi, sementara kejaksaan meminta bukti bahwa operasi itu tak memiliki alternatif yang lebih aman.
Pihak Institut Kedokteran Forensik diminta mendokumentasikan seluruh luka pada jenazah dengan foto dan hasil radiografi.
Castro sendiri tetap membela operasi itu. Pada hari pelaksanaan, ia menyebut Rio sedang berperang melawan “narko-terorisme”, istilah yang ia pinjam dari kampanye Donald Trump di Amerika Latin. Sehari kemudian, ia menilai operasi itu berhasil, kecuali atas gugurnya empat petugas.
Pemerintah negara bagian menyebut para tersangka tewas karena melawan petugas.
Rio de Janeiro bukan kali pertama mengalami operasi berdarah seperti ini. Pada 2005, 29 orang tewas di Baixada Fluminense, dan pada 2021 28 orang tewas di Jacarezinho. Namun, jumlah korban kali ini adalah yang terburuk dalam sejarah operasi polisi di Brasil.
Sejumlah lembaga HAM dan PBB menyatakan keprihatinan atas eskalasi kekerasan.
“Kami sepenuhnya memahami tantangan dalam menghadapi kelompok kejam dan terorganisir seperti Red Command,” ujar Marta Hurtado, juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR).
“Namun Brasil harus mengakhiri siklus kebrutalan ekstrem ini dan memastikan operasi penegakan hukum mematuhi standar internasional mengenai penggunaan kekuatan.” tambahnya
OHCHR pun menyerukan reformasi menyeluruh terhadap kepolisian Brasil.
Pada malam yang sama, Presiden Luiz Inacio Lula da Silva menulis di platform X bahwa ia telah memerintahkan Menteri Kehakiman dan Kepala Kepolisian Federal untuk menemui Gubernur Castro.
Lula menegaskan, Brasil tidak bisa menerima bahwa kejahatan terorganisir terus menghancurkan keluarga, menindas warga, serta menyebarkan narkoba dan kekerasan di kota-kota besar.
Pemerintah negara bagian menyebut tujuan operasi adalah menangkap pimpinan dan membatasi ekspansi geng Red Command, yang kini semakin menguasai favela-favela. Selama baku tembak, anggota geng dilaporkan menggunakan drone bersenjata, dan video peristiwa itu telah dibagikan di X.
Castro, politikus konservatif dari Partai Liberal, menyatakan bahwa Rio “berperang sendirian” dan menuding pemerintah federal kurang memberi dukungan.
Namun pernyataan itu dibantah Kementerian Kehakiman Brasil, yang menegaskan telah memperpanjang penugasan pasukan nasional sebanyak 11 kali atas permintaan Castro sendiri.
Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski menilai operasi tersebut “sangat berdarah dan penuh kekerasan”.
Baca Juga: Sanksi Baru Trump ke Rosneft dan Lukoil, Putin: “Kami Takkan Menyerah
“Kita harus merenungkan apakah tindakan seperti ini sesuai dengan prinsip Negara Hukum Demokratis yang mengatur kita semua,” katanya kepada wartawan.
Sementara itu, Roberto Uchoa dari Forum Keamanan Publik Brasil menilai operasi semacam ini tidak efektif menekan kekuatan geng.
“Membunuh lebih dari 100 orang seperti ini tidak akan membantu mengurangi ekspansi Red Command. Mereka yang tewas akan segera digantikan,” tegas Uchoa.










