Scroll untuk melanjutkan berita!
Iklan di Solusiindonesia.com
Malang Raya

Proyek Tanpa Suara Rakyat: Warga Putukrejo Pertanyakan Izin dan Kajian SPAM Sumber Wadon

×

Proyek Tanpa Suara Rakyat: Warga Putukrejo Pertanyakan Izin dan Kajian SPAM Sumber Wadon

Sebarkan artikel ini
Warga Desa Putukrejo, Nur Baron saat memberikan keterangan kepada wartawan (foto istimewa)

Solusiindonesia.com – Penolakan keras muncul dari warga Desa Putukrejo, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, terhadap rencana proyek Pelaksanaan Jaringan Pipa dan Accessories Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Sumber Wadon yang digarap Perumda Tirta Kanjuruhan.

Warga menilai proyek tersebut dilakukan tanpa koordinasi dan sosialisasi yang memadai, padahal sumber air Sumber Wadon berada di kawasan yang sama dengan Sumber Sirah, mata air yang selama ini telah dimanfaatkan oleh Himpunan Pengelola Air Minum (Hipam) Sumber Sirah di bawah naungan Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (BPSAB) Desa Putukrejo.

Pada Sabtu (4/10/2025), sejumlah warga tampak berjaga di sekitar area mata air tersebut. Mereka memastikan tidak ada aktivitas perencanaan proyek yang akan berjalan sebelum ada kejelasan dan keterbukaan dari pihak Perumda Tirta Kanjuruhan.

Perwakilan warga Desa Putukrejo, Nur Baron, menyampaikan bahwa penolakan ini bukan muncul tiba-tiba. Menurutnya, warga sudah lama menolak rencana serupa karena khawatir akan berdampak langsung terhadap debit air yang menjadi sumber kehidupan pertanian dan kebutuhan rumah tangga warga sekitar.

“Kami menolak, karena tidak pernah diajak bicara. Selama ini PDAM (Perumda Tirta Kanjuruhan) tidak pernah berkoordinasi dengan masyarakat. Kami menolak karena dari dulu proyek semacam ini selalu datang tanpa sosialisasi. Sekarang juga begitu, langsung mau membangun,” ujar Nur Baron kepada awak media di lokasi.

Ia menilai, jika proyek itu tetap dipaksakan, maka debit air di Sumber Sirah akan menurun drastis.

“Air di sini dipakai banyak warga, petani, dan rumah tangga. Kalau nanti PDAM menyedot air dengan alat-alat canggihnya, bisa diatur debitnya, otomatis air di sini akan habis. Dampaknya ya ke pertanian dan kehidupan warga,” tegasnya.

Warga juga mengaku kecewa dengan sikap pemerintah Desa Putukrejo yang dinilai pasif dalam merespons penolakan masyarakat. Menurut mereka, tidak ada sikap tegas atau kejelasan dari pihak desa terkait izin masuknya proyek tersebut.

“Desa diam saja. Kami tidak tahu apakah desa ini ditekan pihak lain atau memang ikut mendukung proyek itu. Tapi yang jelas, izin pertama pasti dari desa. Kalau desa tidak mengizinkan, PDAM tidak bisa masuk,” lanjut Nur Baron.

Sebelumnya, warga juga sempat diundang ke Balai Desa untuk membahas proyek tersebut. Namun pertemuan itu justru menimbulkan kekecewaan karena hanya dihadiri sebagian kecil warga.

“Katanya sosialisasi, tapi yang diundang hanya segelintir orang. Akhirnya warga lain tahu dan datang sendiri. Hasilnya jelas, semua warga menolak,” kata Nur Baron.

Warga Desa Putukrejo Gondanglegi saat memastikan kondisi sumber wadon (foto istimewa).

Ketua BPSAB Sumber Sirah, Abdur Rosyid, membenarkan bahwa hingga saat ini belum pernah ada sosialisasi langsung dari pihak Perumda Tirta Kanjuruhan kepada masyarakat pengelola atau pengguna air di wilayah tersebut.

“Belum ada sosialisasi apa pun ke warga. Kami juga tidak pernah diajak koordinasi secara kelembagaan. Pernah memang ada pertemuan di kecamatan, tapi itu hanya menghadirkan perwakilan dari desa, BPD, dan BPSAB Sumber Sirah. Hasilnya pun tidak ada keputusan jelas,” terang Rosyid saat ditemui di kantor BPSAB.

Ia menambahkan, secara teknis, BPSAB tidak keberatan dengan kegiatan pembangunan selama tidak mengganggu sistem dan aliran air yang telah berjalan puluhan tahun dan menjadi tumpuan hidup masyarakat Desa Putukrejo serta desa-desa sekitarnya.

“Kalau memang Perumda mau membangun, silakan. Tapi harus terbuka, humanis, dan menjelaskan ke masyarakat. Karena yang merasakan dampaknya ya warga sini,” ujarnya.

Rosyid juga mengungkap, bahwa di sekitar kawasan sumber air tersebut masih terdapat bangunan lama milik PDAM yang terbengkalai sejak tahun 1980-an. Ia menyebut, dulu fasilitas itu ditinggalkan karena debit air tidak mencukupi untuk kebutuhan operasional.

“Bangunan lama PDAM itu sudah ada sejak 40 tahun lalu, tapi ditinggalkan karena debitnya kurang. Justru dari situ masyarakat kemudian berinisiatif membentuk Hipam Sumber Sirah dengan bantuan program Wislic, agar kebutuhan air warga bisa terpenuhi,” ujarnya.

Penolakan warga kini mengerucut pada dua tuntutan utama: transparansi dan kajian lingkungan. Mereka mendesak agar Perumda Tirta Kanjuruhan membuka dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan melibatkan warga dalam setiap tahap perencanaan.

Warga juga mengingatkan bahwa air di kawasan tersebut adalah sumber utama irigasi pertanian yang menghidupi beberapa desa di Gondanglegi dan sekitarnya. Bila debit air berkurang, maka bukan hanya warga Putukrejo yang terdampak, melainkan juga desa-desa di hilir.

“Kami bukan anti pembangunan. Tapi kalau pembangunan mengorbankan sumber air rakyat, kami akan tetap menolak,” tutup Nur Baron. (*)

Image Slide 1
Instagram Solusiindonesia