Solusiindonesia.com – Di balik gemerlap rencana besar proyek migas Blok Masela, ada suara-suara dari timur yang berusaha didengar. Suara yang datang dari tanah Tanimbar, tentang adat, tanah, dan manusia yang hidup berdampingan dengan alam selama berabad-abad.
Suara itu menggema di Pandopo Kabupaten Malang, ketika Persatuan Mahasiswa Tanimbar (PERMATA) Malang menggelar Focus Group Discussion (FGD) dan Pertunjukan Budaya bertajuk “Pemberdayaan Masyarakat Adat Tanimbar dalam Menghadapi Peluang dan Tantangan Blok Masela.” Selasa (7/10/2025).
Bukan sekadar forum akademik, kegiatan ini menjadi ruang perjumpaan antara pengetahuan, budaya, dan semangat generasi muda Tanimbar yang ingin memastikan bahwa pembangunan tidak melupakan manusia yang menjadi bagian dari tanah tempat ia berdiri.
Dalam sesi FGD, hadir beragam kalangan mulai dari akademisi, aktivis, hingga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Malang seperti Universitas Brawijaya, Universitas Merdeka, Universitas Kanjuruhan, Universitas Wisnu Wardhana, hingga Politeknik Negeri Malang.
Mereka membedah peluang dan tantangan yang dihadapi masyarakat adat Tanimbar dalam menyongsong kehadiran proyek migas terbesar di kawasan timur Indonesia itu.
Isu-isu penting seperti hak atas tanah ulayat, risiko kerusakan lingkungan, dan pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan menjadi fokus utama diskusi.
“Blok Masela bukan hanya soal investasi dan energi, tetapi soal masa depan masyarakat adat,” ujar Boy Calvin Masombe, Ketua Panitia Pelaksana. “Kami ingin menyuarakan bahwa masyarakat adat tidak boleh dipinggirkan dari proses pembangunan, karena merekalah penjaga pertama tanah ini,” tambahnya tegas.
Salah satu narasumber, Dr. Hipolitus K. Kewuel, M.Hum., antropolog dari Universitas Brawijaya, menyoroti pentingnya pelembagaan masyarakat adat Tanimbar sebagai strategi menghadapi arus besar pembangunan Blok Masela.
“Pelembagaan bukan sekadar pengakuan formal, tetapi cara memperkuat posisi tawar masyarakat adat dalam perencanaan dan pengawasan proyek strategis,” jelasnya.
Menurutnya, tanpa lembaga adat yang kuat, masyarakat berisiko menjadi “penonton di tanah sendiri”. “Dengan pelembagaan, masyarakat adat dapat menjadi subjek pembangunan bukan sekadar objek kebijakan,” tambahnya.
Kebijakan Publik dan Keadilan Sosial
Pandangan lain disampaikan Dr. Edoardus Koisin, S.Sos., M.AP., akademisi dari Universitas Lelemuku Saumlaki (UNLESA). Ia menilai, keterlibatan masyarakat adat harus ditempatkan dalam kerangka kebijakan publik yang partisipatif dan berkeadilan.
“Pemerintah harus memastikan masyarakat adat bukan sekadar penerima dampak, tetapi juga bagian aktif dalam setiap tahapan kebijakan dari perencanaan hingga evaluasi,” ujarnya.
Menurutnya, pembangunan Blok Masela akan berarti sedikit jika tidak diimbangi kebijakan yang berpihak pada manusia dan lingkungan. “Tanpa regulasi yang berpihak, masyarakat adat berpotensi mengalami marginalisasi sosial, ekonomi, dan budaya,” tegasnya.
Dari sudut pandang sosiologi, Rd. Cayetanus A. Masriat, sosiolog STPAK Ambon sekaligus rohaniwan Katolik, menilai bahwa masyarakat adat Tanimbar memiliki struktur sosial dan nilai budaya yang kuat. Namun, masuknya investasi besar berpotensi mengguncang keseimbangan sosial yang telah lama terjaga.
“Pembangunan Blok Masela bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal perubahan sosial yang besar. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa muncul ketegangan sosial dan pergeseran nilai,” jelasnya.
Ia menegaskan, kekuatan modal sosial seperti gotong royong dan kepemimpinan adat harus diperkuat agar masyarakat mampu beradaptasi tanpa kehilangan identitas. “Masyarakat adat harus menjadi aktor utama dalam perubahan sosial — bukan korban modernisasi,” tuturnya.
Usai sesi diskusi, malam di Pandopo Malang diselimuti semangat budaya. Pertunjukan kesenian tradisional Tanimbar mulai dari Foruk, tarian adat, hingga Rap Tanimbar menghadirkan warna tersendiri. Irama musik dan lantunan syair tradisi seakan menjadi pengingat bahwa di balik debat ekonomi dan kebijakan publik, ada identitas yang ingin terus hidup.
Pertunjukan itu bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk ekspresi kultural atas realitas yang tengah dihadapi masyarakat adat perjuangan agar budaya dan tanah tidak terhapus di tengah derasnya arus investasi.
Mahasiswa, akademisi, hingga komunitas budaya larut dalam kebanggaan yang sama: menjaga identitas dan keberlanjutan hidup manusia Tanimbar.
Bagi PERMATA Malang, kegiatan ini lebih dari sekadar forum diskusi. Ia adalah panggilan moral bahwa pembangunan sejati harus menempatkan manusia dan budaya di pusatnya.
“Kami ingin menyampaikan bahwa masyarakat adat bukan objek, melainkan subjek pembangunan. Suara mereka harus didengar, budaya mereka harus dihormati,” tutup Boy Calvin Masombe.
Dari Pandopo Kabupaten Malang, suara itu mengalir jauh ke timur menuju pulau-pulau Tanimbar membawa pesan sederhana namun kuat: pembangunan yang berkelanjutan bukan hanya tentang ekonomi, tetapi tentang keadilan sosial, martabat budaya, dan harmoni antara manusia dan alam. (*)










