Solusiindonesia.com – Siang di depan Stadion Kanjuruhan, Minggu (26/10/2025), seharusnya dipenuhi riuh sorak pendukung Arema FC yang bersiap menyambut laga sore itu. Namun, di tengah hiruk pikuk suasana, teriakan panik mendadak memecah ketenangan. Seorang pria berlari terseok, tubuhnya berlumuran darah, sebelum akhirnya tumbang di tepi jalan.
Nama pria itu Firman Arif, warga Desa Sumberejo, Kecamatan Pagak. Ia bukan korban kejahatan acak, melainkan luka dari kisah lama persahabatan yang berubah menjadi permusuhan.
Pelaku, berinisial S (30), warga Desa Brongkal, Kecamatan Pagelaran, bukan orang asing bagi Firman. Mereka saling mengenal, bahkan cukup dekat, sebelum hubungan itu retak oleh serangkaian kesalahpahaman yang tak kunjung usai.
Menurut penuturan warga sekitar, sebelum peristiwa berdarah itu, keduanya sempat terlibat adu mulut di depan sebuah toko Madura, hanya beberapa langkah dari pintu masuk Stadion Kanjuruhan. Suara mereka meninggi, menarik perhatian orang sekitar. Tak lama kemudian, situasi berubah mencekam.
“Korban sempat berlari menyelamatkan diri sebelum akhirnya terjatuh di depan stadion,” terang AKP Muchammad Nur, Kasatreskrim Polres Malang.
Beruntung, saat itu sejumlah petugas kepolisian tengah berjaga di sekitar lokasi untuk pengamanan pertandingan. Mereka segera berlari menolong korban, mengevakuasinya ke RSUD Kanjuruhan. Di tubuh Firman, dokter menemukan luka tusukan di kepala, punggung, dan kaki, bukti amarah yang meledak tak terkendali.
Usai melakukan aksinya, S berusaha melarikan diri. Ia menuju rumah saudaranya di Desa Brongkal, mencoba menenangkan diri dari perbuatan yang baru saja dilakukan. Namun upayanya sia-sia.
Tak sampai satu jam kemudian, tim Reskrim Polres Malang berhasil meringkusnya tanpa perlawanan.
Dari tangan pelaku, polisi mengamankan pisau yang digunakan untuk menusuk korban, serta kaos hitam yang dikenakannya saat kejadian.
Hasil pemeriksaan mengungkap, peristiwa itu bukan ledakan emosi sesaat. Ada bara lama yang kembali menyala. Beberapa hari sebelumnya, pelaku dan korban memang sempat berselisih. Meski sudah berdamai, rupanya perdamaian itu rapuh.
“Pelaku merasa tersinggung karena korban kembali mengungkit masalah lama. Dari sana, emosi pelaku meledak,” jelas AKP Nur.
Yang lebih mengejutkan, S sempat pulang untuk mengambil pisau sebelum kembali menemui korban. Artinya, ada unsur perencanaan, bukan semata tindakan spontan. Begitu bertemu, ia langsung menyerang Firman tanpa banyak kata.
Kini, korban masih dirawat di RSUD Kanjuruhan. Polisi menunggu hasil visum untuk memastikan tingkat luka yang diderita. Sementara pelaku meringkuk di sel tahanan, menunggu proses hukum yang akan menentukan nasibnya.
Kasus ini menjadi pengingat betapa tipis batas antara emosi dan tragedi. Sebuah perselisihan kecil, jika tak diselesaikan dengan hati yang lapang, bisa berujung pada perbuatan yang tak termaafkan.
Di depan Stadion Kanjuruhan, tempat ribuan orang biasanya bersorak penuh semangat, darah dan amarah sempat menodai tanahnya. Sebuah kisah yang mestinya tak perlu terjadi tentang dua sahabat yang akhirnya saling melukai, hanya karena dendam yang dibiarkan tumbuh terlalu lama. (*)










