Solusiindonesia.com — Pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) mengecam keras pembunuhan massal yang dilakukan oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di el-Fasher, Sudan, dan memperingatkan Dewan Keamanan PBB bahwa situasi di kota itu telah “turun ke neraka yang lebih gelap”.
Dikutip dari Al Jazeera, El-Fasher ibu kota negara bagian Darfur Utara jatuh ke tangan RSF pada Minggu(26/10/2025) setelah pasukan pemerintah Sudan dipaksa mundur dari benteng terakhir mereka di wilayah Darfur Barat.
“Situasinya sungguh mengerikan,” ujar Martha Ama Akyaa Pobee, asisten sekretaris jenderal PBB untuk Afrika, dalam sidang darurat Dewan Keamanan pada Kamis (30/10/2025)
Ia menuturkan, Kantor Hak Asasi Manusia PBB menerima laporan kredibel tentang pembunuhan massal, eksekusi kilat, dan penggeledahan dari rumah ke rumah saat warga sipil berusaha melarikan diri.
“Situasinya kacau. Dalam konteks ini, sulit memperkirakan jumlah warga sipil yang tewas. Meskipun ada komitmen untuk melindungi warga, kenyataannya tidak ada yang aman di el-Fasher,” tambahnya.
“Tidak ada jalur aman bagi warga sipil untuk meninggalkan kota.”
Baca Juga: PBB Desak Pembukaan Perbatasan Gaza di Tengah Krisis Kemanusiaan
Kepala kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, mengatakan penduduk kota itu kini menjadi sasaran “kengerian”.
“Kota itu sudah menjadi tempat penderitaan manusia yang sangat parah, [tetapi] telah jatuh ke dalam neraka yang lebih gelap,” ujarnya kepada Dewan Keamanan.
Fletcher menambahkan, “Kami tak bisa mendengar jeritan, tetapi saat kami duduk di sini hari ini kengerian terus berlanjut. Perempuan dan anak perempuan diperkosa, orang-orang dimutilasi dan dibunuh tanpa hukuman sama sekali.”
Selama 18 bulan sebelum tentara Sudan mundur, pengepungan RSF telah menjebak ratusan ribu orang tanpa akses makanan atau kebutuhan pokok.
Sejak Sabtu(25/10) lebih dari 36.000 orang dilaporkan mengungsi ke Tawila, sekitar 70 kilometer barat el-Fasher, yang kini menampung sekitar 650.000 pengungsi internal.
“Banyak sekali penembakan,” kata Fatima Abdulrahman, pengungsi dari el-Fasher, kepada Al Jazeera di Tawila.
“Saya sendiri terkena dampak penembakan. Penembakan itu menewaskan putri saya, melukai mata putri saya yang lain, dan melumpuhkan putra saya. Tubuh saya penuh luka dan bengkak.”
Analis memperingatkan bahwa jatuhnya el-Fasher ke tangan RSF bisa memperdalam fragmentasi Sudan, lebih dari satu dekade setelah pemisahan Sudan Selatan.
Perang yang pecah sejak April 2023 antara militer dan RSF telah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat lebih dari 12 juta orang mengungsi.
“Apa yang terjadi di kota el-Fasher bukanlah insiden yang terisolasi,” ujar Duta Besar Sudan untuk PBB, Al-Harith Idriss Al-Harith Mohamed.
Baca Juga: AS Tegaskan UNRWA Tak Akan Berperan di Gaza, PBB dan ICJ Angkat Suara
“Sebaliknya, ini merupakan kelanjutan dari pola pembunuhan dan pembersihan etnis sistematis yang telah dilakukan milisi ini sejak pemberontakannya pada April 2023.”
Dalam pidatonya yang muram di Dewan Keamanan, Al-Harith Mohamed menyebut peristiwa di el-Fasher sebagai “genosida menurut semua standar dan definisi hukum”.
“Perempuan dan anak perempuan diserang di siang bolong,” ujarnya, sambil menuding Dewan Keamanan gagal bertindak.
Ia mendesak PBB untuk mengutuk tindakan RSF dan menetapkan kelompok itu sebagai organisasi “teroris”, menuntut penarikan pasukan paramiliter dari el-Fasher, menegakkan embargo senjata yang sudah berlaku selama setahun, serta menjatuhkan sanksi pada pihak luar yang mendukung RSF.










