Solusiindonesia.com – Polemik mengenai permintaan DPRD Kabupaten Malang agar pasokan air bersih dari wilayahnya ke Kota Malang dihentikan, kembali menjadi sorotan publik. Praktisi hukum sekaligus aktivis anti-korupsi, Hendro Prastyo, S.H., M.Kn., angkat bicara menyikapi dinamika tersebut dengan menegaskan pentingnya landasan hukum yang kuat dan berpihak pada keadilan sosial.
Menurut Hendro, pengelolaan air sebagai sumber daya alam tidak boleh dipandang hanya dari aspek administratif atau politis, tetapi harus dikembalikan pada prinsip dasar konstitusi. “Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ujarnya pada Kamis (26/6).
Ia menyoroti bahwa konflik antara Pemerintah Kabupaten Malang dan Pemerintah Kota Malang terkait distribusi air bersih berakar pada lemahnya kepastian hukum dalam perjanjian antardaerah. Berdasarkan teori hukum Gustav Radbruch, tujuan hukum mencakup kepastian, kemanfaatan, dan keadilan—tiga hal yang dinilai belum sepenuhnya tercapai dalam kasus ini.
Hendro merujuk pada pernyataan salah satu anggota DPRD Kabupaten Malang, yang menilai bahwa hubungan kontraktual antara kedua pemerintah daerah perlu ditinjau ulang secara empiris dan yuridis. “Setiap perikatan dalam bentuk perjanjian harus memiliki mekanisme perubahan hak dan kewajiban apabila salah satu pihak dirugikan,” jelasnya.
Dalam konteks ini, pembaharuan perjanjian atau novasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1413–1424 KUH Perdata menjadi solusi hukum yang relevan. Hal ini penting untuk mencegah multitafsir yang dapat mengarah pada ketimpangan hak antar daerah, serta potensi pelanggaran hukum.
Hendro juga mengingatkan bahwa pada tahun 2022 sempat digelar pertemuan penting di Solo yang diinisiasi oleh Tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK, yang mempertemukan Bupati Malang, Drs. H. M. Sanusi, M.M., dengan Wali Kota Malang, Drs. H. Sutiaji. Namun, menurutnya, pertemuan tersebut belum menghasilkan instrumen hukum yang mengikat dan berjangka waktu jelas.
“Tanpa batasan waktu dalam perjanjian, kerja sama ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka ruang bagi potensi penyalahgunaan wewenang atau dugaan tindak pidana korupsi,” tegas Hendro.
Lebih jauh, ia menilai bahwa ketimpangan distribusi air bersih di wilayah Kabupaten Malang menunjukkan lemahnya pelaksanaan prinsip good governance. Hendro mengungkap bahwa hingga kini masih banyak wilayah di Kabupaten Malang, termasuk desa-desa yang dekat dengan sumber mata air, belum menikmati akses air bersih yang memadai.
“Ini persoalan keadilan sosial. Masyarakat yang tinggal di sekitar sumber air justru masih kekurangan. Sementara air dialirkan ke kota tanpa jaminan pemerataan manfaat. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal nurani kebangsaan,” pungkasnya.
Dengan mempertimbangkan aspek hukum, sosial, dan etika pemerintahan, Hendro mendorong agar Pemkab dan Pemkot Malang segera duduk bersama, menyusun kembali kesepakatan yang mengedepankan transparansi, keadilan, dan kemanfaatan bersama, demi kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi wilayah.