Solusiindonesia.com — Israel kembali melancarkan serangan udara dan tembakan artileri di Jalur Gaza, memicu kekhawatiran baru mengenai keberlangsungan gencatan senjata yang rapuh dengan Hamas
Sementara itu Amerika Serikat meningkatkan upaya diplomatiknya untuk menjaga kesepakatan perdamaian tetap berada di jalurnya.
Dikutip dari Al Jazeera, Badan Pertahanan Sipil Palestina melaporkan empat korban tewas dalam dua serangan terpisah. Keempatnya disebut sebagai warga sipil yang menjadi sasaran “tembakan Israel saat mereka kembali memeriksa rumahnya” di kawasan al-Shaaf, sebelah timur lingkungan Tuffah, di bagian timur Kota Gaza.
Militer Israel mengklaim bahwa pasukannya menembak para militan yang menyeberangi garis demarkasi kuning dan mendekati posisi mereka di wilayah Shujayea, yang berdekatan dengan Tuffah.
Menurut militer, serangan itu dilakukan karena kelompok tersebut “menimbulkan ancaman” terhadap pasukan Israel.
Garis demarkasi kuning sendiri merupakan batas wilayah yang ditetapkan dalam peta yang dipublikasikan oleh Presiden AS Donald Trump pada 4 Oktober lalu. Garis itu menandai posisi pasukan Israel yang mundur dan bertahan berdasarkan perjanjian gencatan senjata dengan Hamas.
Namun, warga di Gaza mengaku kebingungan karena garis tersebut tidak memiliki batas fisik yang jelas. “Seluruh wilayah ini sudah hancur. Kami melihat petanya, tapi kami tidak tahu di mana letak garis-garis itu,” ujar Samir (50), warga Tuffah.
Sejak gencatan senjata yang dimediasi AS dimulai pada 10 Oktober, beberapa insiden kekerasan kembali pecah. Sedikitnya 97 warga Palestina tewas sejauh ini, menurut pejabat kesehatan Gaza.
Meningkatnya korban jiwa membuat kedua pihak saling menuduh melanggar ketentuan gencatan senjata. Serangan udara Israel pada Minggu(19/10/2025)menewaskan 42 orang, termasuk anak-anak, menurut pejabat kesehatan setempat.
Israel mengklaim bahwa serangan tersebut merupakan balasan atas pelanggaran oleh Hamas, yang dituduh telah menembak dan menewaskan dua tentaranya di Rafah.
Namun, Hamas membantah tuduhan itu dan menegaskan tidak memiliki kontak dengan unit-unitnya yang tersisa di wilayah Rafah yang kini dikuasai Israel. Mereka menuding Israel “mencari dalih” untuk melanjutkan perang.
Kelompok itu, yang telah membebaskan 20 tawanan Israel yang masih hidup, mengaku sedang berupaya menyerahkan jenazah tawanan yang tersisa di Gaza. Proses tersebut disebut menghadapi “tantangan besar karena kerusakan yang luas” di wilayah itu.
Palang Merah menerima jenazah tawanan ke-13 dari Hamas dan menyerahkannya kepada militer Israel, sebagaimana dikonfirmasi oleh kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pada Senin (20/10/2025)
Sebelumnya, Israel sempat mengancam akan menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza pada Minggu, namun kemudian menyatakan bahwa penegakan gencatan senjata tetap berlanjut.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric membenarkan bahwa pengiriman bantuan telah dimulai kembali, meski tidak merinci jumlahnya.
Reporter Al Jazeera, Tareq Abu Azzoum, melaporkan bahwa pasukan Israel masih menghalangi sebagian bantuan di sejumlah pos pemeriksaan militer. “Truk-truk penuh dengan bantuan kemanusiaan masih tertahan,” ujarnya.
Di waktu yang sama, tentara Israel disebut menyerang bagian timur Khan Younis, meningkatkan kekhawatiran bahwa gencatan senjata akan runtuh.
Kepala UNRWA Philippe Lazzarini menyerukan agar “gencatan senjata yang rapuh di Gaza harus ditegakkan,” serta meminta penyelidikan atas “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum humaniter internasional.”
Di tengah meningkatnya ketegangan, dua utusan Presiden Donald Trump, Steve Witkoff dan Jared Kushner tiba di Israel untuk memperkuat upaya diplomatik mempertahankan gencatan senjata. Keduanya dilaporkan bertemu dengan Perdana Menteri Netanyahu. Pada Senin (20/10/2025)
Sementara itu, Wakil Presiden JD Vance bersama istrinya, Usha Vance, dijadwalkan mengunjungi Israel pada Selasa dan turut bertemu Netanyahu.
Tahap berikutnya dari gencatan senjata disebut akan mencakup pelucutan senjata Hamas, penarikan pasukan Israel dari beberapa wilayah tambahan di Gaza, serta pembentukan “dewan perdamaian” internasional yang akan mengatur tata kelola Gaza pascaperang.










