Solusiindonesia.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mengembalikan satu unit mobil Toyota Alphard yang sebelumnya disita dari kediaman mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa pengembangan dilakukan setelah penyidik memastikan mobil tersebut bukan aset pribadi, melainkan kendaraan sewaan milik pihak swasta yang digunakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan untuk operasional Immanuel Ebenezer.
“Ternyata aset tersebut adalah aset yang disewa oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan pihak swasta yang digunakan untuk operasional saudara IEG (Noel) sebagai wakil menteri,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Menurut Budi, fakta bahwa mobil itu merupakan kendaraan sewaan terungkap setelah penyidik memeriksa sejumlah saksi, termasuk Sekretaris Jenderal Kemenaker dan perwakilan pihak swasta.
“Ya artinya pengembalian kendaraan ini adalah langkah profesional dan langkah progresif penyidik KPK,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan Immanuel Ebenezer dan 10 orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan pada Jumat (22/8/2025).
Para tersangka lain antara lain: Irvian Bobby Mahendro, Gerry Adita Herwanto Putra, Subhan, Anitasari Kusumawati, Fahrurozi, Hery Sutanto, Sekarsari Kartika Putri, Supriadi, serta dua pihak swasta, Temurila dan Miki Mahfud dari PT KEM Indonesia.
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan, Immanuel Ebenezer diduga menerima Rp 3 miliar dari praktik pemerasan tersebut.
“Sejumlah uang tersebut mengalir kepada pihak penyelenggara negara yaitu Saudara IEG (Immanuel Ebenezer) sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024,” ujar Setyo dalam konferensi pers, Jumat (22/8/2025).
Ia menambahkan, pemerasan terjadi dalam proses pengurusan sertifikasi K3 yang menyebabkan lonjakan biaya signifikan bagi para pekerja.
“Dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp 275.000, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6.000.000 karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih,” jelasnya.
KPK mencatat, selisih pembayaran dalam praktik ilegal itu mencapai Rp 81 miliar, di mana sebagian dana mengalir kepada para tersangka, termasuk Rp 3 miliar yang dinikmati oleh Noel.
Menurut Setyo, praktik pemerasan sudah berlangsung sejak 2019, jauh sebelum Immanuel Ebenezer bergabung ke kabinet. Namun, setelah menjabat sebagai Wamenaker, ia justru membiarkan dan turut meminta bagian dari hasil pemerasan tersebut.
“Peran IEG (Immanuel Ebenezer) adalah dia tahu, dan membiarkan bahkan kemudian meminta. Jadi artinya proses yang dilakukan oleh para tersangka ini bisa dikatakan sepengetahuan oleh IEG,” kata Setyo.
Atas perbuatannya, Noel dan para tersangka lain disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.










