Solusiindonesia.com — Sidang lanjutan atas perkara dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia kembali digelar di ruang sidang Garuda, Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (7/5). Sidang kali ini beragendakan pembacaan eksepsi dari tim kuasa hukum terdakwa.
Dua orang terdakwa dalam perkara ini adalah Hermin (45), warga Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, dan Ade (37), warga Kecamatan Sukun, Kota Malang. Keduanya merupakan staf di kantor cabang PT NSP, masing-masing menjabat sebagai kepala cabang dan bagian pemasaran.
Tim penasihat hukum yang mendampingi kedua terdakwa terdiri atas Muhamad Zainul Arifin, S.H., M.H., Bionda Johan Anggara, S.E., S.H., M.M., Medioni Anggari, S.H., M.M., dan Suwanto Khair, S.H.
Dalam pernyataannya usai sidang, kuasa hukum terdakwa Muhamad Zainul Arifin menilai dakwaan jaksa tidak memiliki dasar yang kuat secara hukum pidana. Ia berpendapat bahwa kasus ini seharusnya masuk ranah administratif, bukan pidana.
“Semua legalitas perusahaan sudah jelas, mulai dari izin SIP3MI dari Kementerian Ketenagakerjaan, SIP2MI dari BP2MI, hingga izin operasional dari Gubernur. Maka, tidak layak jika klien kami dibebankan tanggung jawab pidana,” ujar Zainul kepada awak media.
Lebih lanjut, Zainul menyampaikan bahwa tanggung jawab operasional cabang perusahaan seharusnya berada di kantor pusat, bukan pada pegawai cabang. “Kalau pun ada kekurangan dokumen, itu sanksinya administratif. Bukan pidana,” tegasnya.
Zainul juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa pendekatan hukum yang keliru dalam kasus ini dapat menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif. “Kalau semua hal dipidanakan, siapa yang berani berinvestasi? Ini bisa jadi preseden buruk,” ujarnya.
Tak hanya itu, pihak kuasa hukum juga menyoroti proses penyidikan yang dinilai janggal. Terdakwa disebut hanya sekali diperiksa sebagai tersangka pada 10 November 2024 dan langsung ditahan. Kuasa hukum juga mengaku tidak mendapatkan salinan berkas perkara dari jaksa penuntut umum (JPU), yang menurut mereka merupakan pelanggaran terhadap ketentuan formil dalam Pasal 143 KUHAP.
“Dengan semua kejanggalan ini, kami memohon kepada majelis hakim untuk mengabulkan eksepsi dan menyatakan perkara ini tidak dapat dilanjutkan,” tambahnya.
Terkait dampak kasus ini, Zainul menyinggung nasib 41 calon pekerja migran Indonesia (CPMI) yang terdampak akibat penggerebekan pada 8 November 2024. Dari jumlah tersebut, 14 orang disebut telah menyelesaikan seluruh persyaratan untuk penempatan di Hongkong. Namun, karena proses hukum yang berjalan, mereka gagal diberangkatkan meski tiket sudah disiapkan.
“Kami menilai dakwaan jaksa tidak jelas karena tidak menyebutkan siapa korban sebenarnya. Jika tidak ada korban, maka unsur pidananya tidak terpenuhi,” ujarnya.
Zainul pun menutup keterangannya dengan harapan agar majelis hakim dapat melihat perkara ini secara jernih dan obyektif.
“Kami percaya majelis hakim masih memiliki hati nurani dan akan menilai bahwa ini murni persoalan administratif, bukan pidana.”
Sidang akan dilanjutkan dua minggu mendatang dengan agenda putusan sela dari majelis hakim. (*)