Solusiindonesia.com — Rencana pemerintah menerapkan kebijakan bahan bakar campuran etanol 10 persen (E10) diproyeksikan baru akan bisa berjalan secara realistis pada 2027. Hal ini disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin (20/10/2025).
Menurut Bahlil, kebijakan mandatory E10 masih dalam tahap kajian, seiring dengan pembangunan pabrik etanol berbasis bahan baku lokal seperti singkong dan tebu.
Pemerintah menargetkan pembangunan industri etanol di dalam negeri guna mengurangi ketergantungan pada impor bensin yang masih tinggi.
“Sekarang lagi pengerjaan apakah mandatori ini dilakukan di 2027, 2028, atau kapan. Tetapi menurut saya, yang kita lagi desain, keliatannya paling lambat 2027 bisa jalan,” ujar Bahlil. Sesuai yang dilansir oleh Kompas.com
Sejauh ini, kebijakan etanol dalam BBM masih terbatas pada campuran 5 persen (E5), melalui produk Pertamax Green 95 milik Pertamina. Produk ini baru tersedia secara terbatas di Jakarta dan Surabaya.
Namun demikian, pengamat energi dan pelaku industri mengingatkan bahwa pelaksanaan E10 tidak sekadar membutuhkan regulasi, tetapi juga kesiapan infrastruktur, distribusi, serta jaminan pasokan bahan baku yang konsisten.
Dari sisi pemerintah, kebijakan ini disebut sebagai bagian dari strategi jangka panjang dalam memperkuat ketahanan energi nasional dan mengurangi beban impor BBM, yang tercatat mencapai 27 juta ton per tahun.
Pernyataan Bahlil bahwa pabrik etanol akan berbasis bahan lokal seperti singkong dan tebu menjadi sorotan tersendiri.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan sebelumnya menyebut bahwa implementasi kebijakan E10 akan membuka peluang besar bagi sektor pertanian, sekaligus mendorong pemerataan ekonomi di pedesaan.
“Bayangkan, tidak akan ada tanah kosong nanti. Tanam singkong laris, tanam jagung laris, tanam tebu apalagi untuk etanol,” ujar Zulhas dalam Trade Expo Indonesia ke-40 (15/10/2025).
Meski begitu, sejumlah catatan perlu diperhatikan. Para petani, misalnya, menyambut baik potensi pasar baru, namun mereka juga meminta kejelasan soal harga, pendampingan teknis, dan perlindungan dari fluktuasi pasar.
Di sisi lain, pengamat lingkungan mengingatkan perlunya keseimbangan antara kebutuhan energi dan ketahanan pangan. Lonjakan permintaan bahan baku etanol tidak boleh mengganggu pasokan pangan utama atau menyebabkan konversi lahan produktif secara masif.
Sebagai media nasional, kami menilai bahwa niat pemerintah mendorong transisi energi berbasis biofuel patut diapresiasi. Namun, untuk menjadikan E10 sebagai kebijakan yang efektif dan berkelanjutan, dibutuhkan:
Perencanaan industri etanol yang matang dari hulu ke hilir
Kepastian pasar dan harga bagi petani penyedia bahan baku
Infrastruktur distribusi BBM yang merata di seluruh wilayah
Komunikasi publik yang terbuka dan partisipatif
Pengawasan terhadap dampak lingkungan dan pangan
Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada target jangka pendek, melainkan memastikan bahwa transformasi energi ini benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas.










