Scroll untuk melanjutkan berita!
Iklan di Solusiindonesia.com
Pendidikan

Sekolah Rakyat: Solusi Alternatif atau Ilusi Pendidikan Nasional?

×

Sekolah Rakyat: Solusi Alternatif atau Ilusi Pendidikan Nasional?

Sebarkan artikel ini
Noval Sahori E.M., mahasiswa Fakultas Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan BEM UMM / solusiindonesia.com

Solusiindonesia.comWacana mengenai pendirian sekolah rakyat kembali mengemuka di tengah kompleksitas persoalan pendidikan di Indonesia. Di tengah krisis akses, kesenjangan kualitas, dan belum meratanya standar pendidikan, konsep sekolah rakyat dianggap sebagai oase bagi masyarakat marjinal. Namun, benarkah ini solusi jangka panjang, atau justru ilusi yang bisa menambah beban sistem pendidikan nasional?

Dalam wawancara eksklusif bersama Noval Sahori E.M., mahasiswa Fakultas Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan BEM UMM, muncul pandangan kritis terhadap gagasan tersebut.

“Sekolah rakyat memang lahir dari semangat gotong royong masyarakat, tetapi tanpa sistem yang terstandarisasi, ia berpotensi menciptakan pendidikan kelas dua yang justru memperdalam ketimpangan,” ujar Noval.

Secara konsep, sekolah rakyat merupakan lembaga pendidikan yang digagas dan dikelola oleh komunitas lokal, dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks setempat. Pendekatan ini dinilai lebih fleksibel dan dekat dengan realitas sosial masyarakat.

Namun, Noval mengingatkan bahwa fleksibilitas semacam ini dapat menjadi pedang bermata dua.

“Ketika kurikulum terlalu bebas tanpa acuan nasional, lulusan sekolah rakyat akan kesulitan bersaing di tingkat nasional dan global. Pendidikan harus adaptif, tetapi tetap dalam kerangka mutu yang terukur,” tegasnya.

Dalam praktiknya, banyak sekolah rakyat berdiri tanpa akreditasi, supervisi profesional, atau pendanaan yang memadai. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sekolah rakyat hanya akan menjadi tempat “parkir” anak-anak dari keluarga miskin, tanpa jaminan kualitas pendidikan yang layak.

“Pendidikan bukan sekadar soal akses masuk sekolah. Kita harus bicara tentang kualitas pengajaran, ketersediaan tenaga pendidik yang kompeten, dan kesiapan infrastruktur. Tanpa itu, sekolah rakyat hanya akan menambah daftar masalah,” tambah Noval.

Selain itu, ia menyoroti potensi lahirnya ketimpangan baru. Siswa dari kalangan mampu tetap dapat mengakses pendidikan formal dengan standar nasional, sementara anak-anak dari komunitas rentan akan terdorong ke sistem alternatif yang belum tentu menjamin masa depan mereka.

Pendirian sekolah rakyat secara masif juga dikhawatirkan membuka celah politisasi pendidikan dan penyebaran ideologi tertentu di luar kontrol negara.

“Pendidikan adalah ranah strategis. Ketika negara abai dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat, ada potensi distorsi tujuan pendidikan nasional,” ujar Noval.

Dari sisi pendanaan, sekolah rakyat cenderung mengandalkan partisipasi masyarakat dan sumbangan swasta. Sayangnya, komunitas yang menjadi sasaran justru berasal dari kalangan ekonomi lemah.

“Ketika masyarakat tidak mampu menopang operasional sekolah, maka akan muncul ketidakstabilan. Gaji guru rendah, fasilitas minim, dan proses belajar mengajar terpaksa dikorbankan,” katanya.

Menurut Noval, solusi sejati bagi krisis pendidikan di Indonesia bukan terletak pada menciptakan sistem alternatif yang belum teruji, tetapi pada penguatan sistem pendidikan nasional yang sudah ada.

“Yang kita butuhkan adalah peningkatan kualitas sekolah negeri, distribusi guru yang merata, beasiswa bagi siswa miskin, serta peningkatan anggaran pendidikan,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa fleksibilitas dalam pendidikan tetap diperlukan, tetapi dalam koridor nasional yang jelas dan terukur.

“Kita bisa menyesuaikan kurikulum dengan konteks lokal, tetapi kompetensi dasar dan prinsip pedagogis harus tetap terjaga. Jangan sampai sekolah rakyat justru menjadi jalan pintas yang menyesatkan,” katanya menutup.

Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban utama untuk memastikan pendidikan yang berkualitas, merata, dan inklusif.

“Jika negara melepas tanggung jawab ini, maka kita bukan hanya menciptakan ketimpangan baru, tapi juga merusak cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa,” pungkas Noval Sahori.

Sekolah rakyat mungkin lahir dari niat baik dan semangat kolektif. Namun, tanpa sistem pendukung yang kokoh dan komitmen jangka panjang dari negara, konsep ini berisiko menjadi solusi semu. Sudah saatnya bangsa ini berhenti mencari jalan pintas, dan mulai berinvestasi secara serius dalam sistem pendidikan nasional. (*)

slide 1
selaras 1 Muharam
1 Muharam
Image Slide 1
Image Slide 2
selaras 1 Muharam
1 Muharam